Beberapa jam sudah dia habiskan untuk memandang layar laptop usang itu dengan nanar. Menunggu. Dia menunggu untuk sesuatu hal yang tak pasti ia lakukan. Menunggu detik detik bergantinya hari. Menunggu agar kalender digital di desktopnya itu berubah tanggalnya. Menunggu tengah malam.
Sehari ini dia jalani dengan tidak semangat. Terlalu malu untuk ia akui sendiri bahwa yang membuatnya bertingkah seperti itu adalah satu diantara banyak anak yang mendapat dispensasi khusus itu. Pikirannya entah kemana saat pelajaran pertama. Ia mengutuk pelajaran kedua karena terasa terlalu lama. Pelajaran ketiga tidak ia perhatikan dengan cermat. Begitu bel pulang berbunyi, ia langsung kabur menuju parkiran untuk pulang secepatnya.
Ngebut. Terberkatilah siapapun yang bisa menghindar dari kecepatan motornya yang berlari diatas empat puluh kilometer perjam itu. Jaket merahnya melayang-layang terbawa angin. Tujuan utamanya sehari ini: pulang ke rumah. Entah mengapa rumah terasa sangat hangat dan menyenangkan baginya hari itu.
Dia mengalihkan pandangannya sebentar ke arah jam weker biru muda di atas mejanya. Masih dua jam lagi menuju tengah malam. Ia tinggalkan tempat duduk nyamannya sejenak untuk ke dapur, mengisi ulang gelas tingginya yang kosong sejak satu jam yang lalu.
Terkutuklah sebuah kata yang bernama 'menunggu' itu. Siapa yang suka menunggu? Pembuat penasaran, penghancur harapan, apalagi?
Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Apalagi menunggu hal seperti ini.
Sebenarnya ada banyak rencana-rencana yang tersusun di dalam kepalanya. Seharusnya ada satu atau dua yang terwujud. Sesungguhnya ia memikirkan hal-hal yang muluk-muluk untuk menyambut bergantinya hari. Namun kenyataannya ia tetap bersembunyi seperti ini. Kenyatannya ia hanya melakukan satu hal kecil yang sangat tidak berarti. Sungguh hina.
Walaupun begitu, ia tulus melakukan hal kecil ini. Ia melakukannya karena hati, bukan karena sekedar formalitas. Ia mengerjakannya dengan ikhlas.
Sudah setengah jam lagi menuju detik-detik bergantinya hari. Dia memeriksa ulang segala-galanya dari awal. Apakah
nyambung? Apakah akan dibaca? Dia memilih pilihan yang satu ini karena paling mudah dilakukan dan sepertinya tidak akan membongkar seluruh rahasianya.
Lima menit lagi. Ia mulai gelisah di tempat duduknya. Detik jam di depannya terasa melambat. Berhamburan sudah kuap yang ditahannya sejak tadi. Sabar, sebentar lagi, sedikit lagi.
Satu menit. Berkali-kali sudut matanya sengaja menangkap kotak kecil di pojok kiri bawah desktop. Enam puluh detik terasa sangat lama. Ia sudah menunggu lebih dari tiga jam, namun rasanya enam puluh detik ini lebih lama dari itu. Tanpa sadar ia menghitung mundur di dalam hatinya sejak menit-menit terakhir.
Mendadak ia ingat semua alasan kenapa ia rela menunggu berjam-jam di depan laptop usangnya ini. Ia ingat semua alasan kenapa ia langsung pulang begitu saja tadi siang. Ia ingat semua alasan kenapa ia memandangi kertas berisi nama-nama anak yang mendapat dispensasi itu tadi pagi. Ia ingat semua alasannya, jelas terpampang di dalam ingatannya.
Ia tersenyum. Aku terlalu pengecut, pikirnya. Aku terlalu mendramatisir. Lalu ia ketikkan kata-kata yang ia tunggu untuk dituliskan sejak berjam-jam yang lalu:
"Selamat Ulang Tahun."
Labels: ???, B-Day, curcol, Short Story, Story