Dan ia pun tenggelam, menciptakan gelombang-gelombang air yang bercipratan
ketika ia jatuh ke air. Permukaan air hijau yang tenang itu kini beriak-riak,
kedamaiannya terusik karena dia yang jatuh. Hanya satu orang yang jatuh, tetapi
gelombang transversal yang dibuatnya merambat hingga ke tengah-tengah danau.
Hilangkah ia? Aku tidak tahu. Ketika kulayangkan pandang ke danau,
berusaha menembus gelapnya air, aku tidak melihat apa-apa. Yang ada hanyalah
kepekatan hijau air danau.
Lalu entah bagaimana ia telah selamat. Terengah-engah di sampingku, uap
nafasnya berkabut di depan wajahnya yang kebiruan. Ia terlalu sibuk mengatur
nafasnya sehingga tidak memperhatikanku yang tengah memandanginya. Kemudian aku
menyadari. Ia telah tenggelam dan berhasil kembali ke daratan.
Ketika tubuhnya yang bertelanjang dada kurengkuh dalam pelukanku, kurasakan
betapa dingin kulitnya. Bagaimana tidak, ia telah cukup lama berada di bawah
air. Otot bahunya menegang karena sentuhan panas dari kulitku. Dapat
kubayangkan wajah heran yang tergambar di wajahnya ketika aku memeluknya
seperti ini.
“Aku bersyukur kau bisa selamat,”
Aku berbisik, dan masih mendekapnya lebih lama lagi. Kami diam beberapa
saat pada posisi seperti ini; ia yang duduk memanjangkan kaki di dermaga kayu,
dan aku yang berlutut memeluknya, mencium wangi rambutnya yang basah karena air
danau.
Ia tidak memelukku balik. Tidak masalah. Yang terpenting adalah ia bisa
kembali ke tanah daratan dengan utuh, tidak kurang suatu apa. Dan ia memang kembali.
Kulepaskan pelukanku lalu memandangnya tepat pada kedua bola matanya. Ia
sudah kembali.
Lalu ia menghilang begitu saja dari pandanganku.
cross-posted to my story-site
Labels: Short Story, Story