Ditemukan diantara timbunan draft cerpen yang belum selesai....
Dan maaf saja, bukan mode 'pikir-sendiri-ceritanya' hahaha
Aku nggak bisa buat gituan kayak kamu =_=
Hangat
Aku sedang
memperhatikan air-air yang menari di depanku. Ini adalah satu dari hujan-hujan
deras yang akhir-akhir ini membasahi kota. Kita tidak bisa memperkirakan cuaca
beberapa hari terakhir ini dan terkunci di perpustakaan sekolah adalah hal yang
sama menariknya dengan tidak membawa payung ketika turun hujan. Lucu sekali
bagaimana penjaga sekolah tidak bisa menemukanku tertidur di antara rak-rak
buku.
Aku menyentuh jendela
kaca, mencoba merasakan butiran air yang ada di baliknya. Jendelanya dingin.
Hujan deras membuat suhu menjadi turun. Entah di perpustakaan ini ada pemanas
atau tidak. Bisa-bisa aku mati beku di sini. Yah, mungkin saja aku benar-benar
akan mati beku jika aku tetap diam di samping jendela seperti ini. Lagipula,
apa lagi yang bisa kulakukan di ruangan penuh buku dan tanpa alat komunikasi
apapun? Belum sepuluh menit dan aku sudah bosan.
Aku mengeluarkan
jaket cokelatku yang untungnya terbawa di antara barang-barang tidak bergunaku
ini. Sebaiknya aku turun dari rak buku tempatku duduk saat ini dan mencari
posisi yang lebih hangat. Di mana? Mungkin meringkuk di bawah meja resepsionis
bisa sedikit menghangatkan tubuh. Aku menemukan selembar selendang milik guru
jaga di laci. Lumayan juga. Lalu aku mulai duduk diam.
Dingin.
Lalu aku mulai berpikir
yang aneh-aneh. Maksudku, apa lagi yang bisa kau lakukan di tengah-tengah
kedinginan? Situasi ini membuatku berpikir jika aku benar-benar mati membeku
dan besok pagi akan ada jeritan dari guru penjaga… kira-kira siapa saja yang
akan menyesali kematianku ya? Jangan menyebut orang tua atau saudara. Mereka
sudah jelas akan menangisiku. Bukan sombong atau apa, tapi itu kenyataan bukan?
Oleh karena itu aku berbicara tentang teman-temanku, berhubung ini sedang di
sekolah.
Siapa yang akan
benar-benar merasa kehilangan?
Dia? Aku tidak yakin.
Maaf saja, tetapi disamping perasaan simpati karena aku teman dari temanmu,
mungkin tidak ada perasaan murni kehilangan. Lagipula, sepertinya kau senang
kalau aku tidak ada. Buktinya kau tidak mau berbicara padaku, maksudku, kau
tidak mau berbicara terbuka padaku sekali saja. Kau selalu saja mengalihkan
pembicaraan jika aku mencoba untuk bertanya apa yang sedang kau bicarakan
dengannya. Sudahlah, tidak apa-apa. Lagipula aku tidak terlalu peduli jika kau
tidak menangisiku.
Dia? Aku…setengah
yakin. Maksudku, apa pentingku untuknya? Aku selalu mengganggu, iya ‘kan? Dan
tanpa sadar menyombongkan kelebihanku yang hanya satu itu. Lagipula, jika aku
mati, kau masih punya dia, masih punya teman lain yang lebih baik dan lebih
terbuka padamu. Tetapi mungkin kau masih menangisiku…sebatas teman sebangku
yang baik.
Dia? Hah, apalagi
kau. Entah kau akan menangisiku atau tidak. Asal kau tahu saja, kau itu punya
lebih banyak teman yang lebih menyayangimu dari pada aku. Daripada aku yang
bodoh ini, lebih baik dia yang bisa menemanimu setiap saat ketika kau
membutuhkan. Lebih baik dia yang terlalu peduli padamu, lebih baik dia yang
setiap saat peduli dengan keadaan nilamu. Maksudku, masih banyak orang yang
lebih patut untuk kau tangisi daripada aku.
Dia? Kalau kau…
Dingin.
Mendadak aku ingat
ketika kau… Ah, tunggu ini memalukan sekali. Sebenarnya untuk apa aku berpikir
sampai sejauh ini? Ini akibat dingin yang keterlaluan! Kutarik jaketku lebih
maju lagi, entah akan membuatku lebih hangat atau tidak.
Lalu. Perasaan hangat
itu, aku ingat. Jadi kau memberiku perasaan hangat itu hanya karena aku
memberikan sebuah…material untukmu? Sudah tak terhitung berapa kali aku
menghabiskan uang untuk membeli cokelat-cokelat itu, dan yang terakhir ini
sayangnya aku tidak bisa memberikan apa-apa karena, kau tahu sendiri, keadaanku
yang seperti ini. Jadi harus apa lagi yang aku perbuat untuk membuat perasaan
hangat itu muncul kembali? Harus berapa banyak uang lagi yang kukeluarkan untuk
membuat perasaan hangat itu muncul kembali?
Tunggu, bicara apa
aku ini.
Apakah aku bermimpi?
Sudah jelas ponselku tertinggal di rumah, namun aku mendengar sebuah nada dari
kejauhan. Nada familiar ini, lagu yang kuusulkan padamu untuk kau pelajari. Ah,
apa judulnya?
Tunggu, berpikir apa
aku ini.
Tunggu, apakah ini
benar-benar nyata?
Tunggu,
Tunggu sebentar, aku
mendengar sebuah suara langkah kaki. Biarkan saja, pikirku. Aku sudah terlalu
lemas untuk berdiri. Jika aku bergerak maka kehangatan sementara ini akan
hilang dan aku yakin aku akan beku kedinginan. Biarkan saja. Jika yang datang
itu penjaga sekolah maka selamatlah aku. Lagipula siapa lagi yang akan datang
kemari di waktu yang sudah terbilang larut ini? Walaupun masih jam setengah
Sembilan malam, waktu ini sudah terlalu larut untuk berada di dalam sekolah,
bukan?
Ah, aku mendengar ada
namaku. Namaku, dipanggil?
“…”
“…”
Aku disini,
Entah siapapun itu
kuharap kau bisa mendengarnya. Entah siapapun itu, orang yang kubenci, aku
tidak peduli. Yang penting aku bisa keluar dari sini dan mencari kehangatan
yang lebih pasti.
Tunggu, bicara apa
aku ini? Rupanya aku sudah cukup kedinginan sehingga pikiranku mulai melantur
kemana-mana.
Aku disini,
Aku disini,
Aku disini,
BRAK.
Entahlah suara apa
itu, aku tidak peduli. Jika aku bergerak untuk melihatnya kehangatan sementara
ini akan menghilang dan aku akan mati beku. Itu penjaga sekolah, iya kan?
Dingin.
“…”
Eh? Itu bukan penjaga
sekolah. Mana ada penjaga sekolah bersuara ringan seperti itu? Suara ini bukan
milik orang yang berumur tiga puluh tahun keatas, suara ini milik remaja. Dan
lagi, tidak ada satupun penjaga sekolah yang mengetahui namaku.
“…”
Aku disini,
Lalu sepasang lengan
muncul dan melingkarkan keduanya di leherku. Pada detik pertama aku berpikir
bahwa seseorang telah mencoba untuk mencekikku. Tetapi ternyata bukan. Aku
mengenali kedua lengan ini, aku mengenali kehangatan ini.
“Syukurlah! Syukurlah
kau kutemukan! Aki, aku benar-benar khawatir!”
Kakak? Ya ampun, aku
terlalu kedinginan sampai-sampai aku tidak bisa menggerakkan bibirku untuk
berbicara. Sepertinya aku masih memiliki sisa tenaga untuk memeluknya balik.
Hangat.
“Ya tuhan, kau dingin
sekali! Ayo, kita harus cepat keluar dan membawamu ke rumah…”
Aku menyuruhnya untuk
diam. Kutahan tangannya yang ingin memapahku keluar. Tunggu. Tunggu. Aku ingin seperti ini untuk
sesaat saja. Selama ini kakak selalu sibuk, ya ‘kan? Tidak pernah meluangkan
sedikit saja waktunya untuk adiknya ini.
“Aki, kau manja
sekali. Jarang-jarang kau seperti ini. Ya sudahlah…” Kakak akhirnya duduk di
sampingku sembari tidak merubah posisinya.
“Asal kau tahu saja, Aki,
kau itu berat…”
Aku diam saja. Aku
sudah tidak peduli bagaimana nanti kami akan pulang atau bagaimana cara kakak
bisa masuk kemari, biarkan saja. Lagipula siapa yang peduli.
Lagipula.
Hangat.
Labels: Short Story, Story