Kacang itu bukanlah kacang bermerk yang dipajang di etalase-etalase toko kelontong, atau berdiri dengan stand cantik di mall. Sebungkus kacang itu hanya berselimut plastik bening sederhana yang dikaitkan dengan memanaskan ujungnya dengan lilin.Kau bisa menemukan kacang goreng semacam ini di warung-warung kecil di pinggir jalan atau di toko-toko kelontong tua yang sudah lama terlupakan.
Kacang ini seakan mengingatkan siapapun yang melihatnya dengan sebuah peribahasa, "Jangan melihat seseorang dari penampilannya.". Meskipun pengemasan kacang ini sangat sederhana, ketika kau mencobanya satu, kau akan terkejut dengan kenikmatan rasanya. Rasanya bukan enak, tetapi unik. Mampu membuatmu tergoda untuk mencobanya lagi dan lagi.
Seperti kamu.
Mungkin sedikit salah jika aku membandingkanmu dengan kacang pinggiran ini karena kamu lebih cocok disamakan dengan kacang-kacang yang berbungkus manis dengan gambar-gambar semarak di pembungkusnya.
Tetapi aku merasa kamu yang sebenarnya adalah kacang ini. Banyak anak memandangmu sebagai kacang yang mahal yang dijual di supermarket itu. Banyak anak memandangmu hanya karena kelebihan-kelebihanmu itu, dan banyak anak tertarik padamu hanya karena ciri fisikmu.
Harus kuakui, kamu itu memang menarik. Sangat. Kamu lebih menarik daripada adikmu yang berjarak hanya dua tahun denganmu itu. Suaramu lebih merdu, lebih indah. Kau lebih tinggi dari kebanyakan anak di sekolah. Kulitmu termasuk putih untuk ukuran anak laki-laki sebayamu. Wajahmu termasuk dalam kategori manis bagi sebagian besar anak perempuan di sekolah. Apalagi dengan ketenaran yang kamu bawa sejak sekolah menengah pertama itu, kamu seperti semakin bersinar di sekolah ini.
Namun kamu mempunyai kekurangan, seperti layaknya manusia pada umumnya. Kamu memiliki sedikit cacat kecil pada salah satu kacang-kacangmu. Tetapi kamu bukan susu sebelanga yang bisa dirusak hanya dengan nila setitik. Kekuranganmu ini seolah tidak berpengaruh banyak terhadap kepopularitasanmu di sekolah.
Banyak anak yang kukenal akan menyebut tentang kemerduan suaramu terlebih dahulu. Kemudian tinggi. Lalu wajah. Baru sifat.
Kamu itu cuek. Banget. Disaat adikmu tengah dekat dengan salah seorang temanku, kamu malah 
cuek bebek. Begitu banyak anak-anak perempuan yang akan tersipu malu jika kamu ajak bicara. Begitu banyak anak-anak perempuan yang diam-diam menyimpan fotomu dalam ponselnya. Namun harapan mereka semua runtuh karena sifatmu yang lumayan menyebalkan ini.
Tetapi aku berbeda.
Aku bukannya akan menyombongkan diri atau apa. Aku hanya merasa aku berbeda dengan yang lain. Aku mengakui bahwa aku tertarik padamu juga karena kelebihan suaramu itu. Mustahil untuk mengelak dari feromon yang tak sengaja tersebar itu. Namun aku rasa diriku lebih murni. Lebih sejati.
Aku mengenalmu pertama kali ketika kita berjabat tangan di depan mushala, ketika para senior mewajibkan kita semua untuk mengenal satu sama lain lebih dekat. Aku tahu ada kamu yang sedang berusaha mengenali satu-persatu wajah-wajah dari anak-anak perempuan yang duduk berjejer di tangga mushala. Lalu tibalah giliranku. Awalnya aku tidak terlalu peduli, namun karena keharusan dan kewajiban dari para senior untuk mengenali satu angkatan, akhirnya aku berkenalan juga.
Lalu rasanya waktu terhenti selama beberapa detik.
Canda tawa teman-temanku seolah teredam, kicauan burung mendadak menghilang, yang kudengar hanya suaramu yang mengenalkan dirimu sendiri.
"Hai, namaku..."
Kemudian semua kembali seperti sediakala. Ketika aku tersadar kamu sudah beralih ke teman lain di sebelahku. Aku sampai harus bertanya lagi siapa namamu pada anak lain karena aku tidak yakin dengan pendengaranku dan terlalu malu untuk bertanya lagi padamu.
Sejak itu aku mulai tertarik padamu. Sejak itu aku melihatmu sebagai sebungkus kacang sederhana itu, bukan dengan bungkus penuh warna melainkan plastik transparan yang sangat biasa itu.
Aku tidak mengindahkan perkataan banyak anak tentangmu yang terlalu cuek. Menurutku kamu itu baik. Kamu masih membela teman satu angkatanmu, kamu masih peduli untuk datang latihan tepat waktu, kamu masih peduli dengan ikut menawarkan membantu membawa banner meskipun kutolak dengan perasaan kecewa pada akhirnya. Kamu itu baik. Sayang tidak banyak yang melihat hal itu.
Tetapi aku melihatnya. Aku melihatnya dari sini, bersama dengan onggokan barang-barang tak berguna di kotak kardus di rak paling bawah ini. Takkan mungkin bagimu untuk bisa melihatku jika kamu tidak menarik kardus ini keluar dan menumpahkan semua isinya.
Namun aku akan selalu berada di sini. Selalu di sini dengan cintaku yang tulus, yang murni padamu. Aku selalu ada di tempat ini, menunggu saat-saat ketika ada yang tidak sengaja mengenaimu dan membuatmu terjatuh ke bawah. Aku akan ada di sini disaat plastik pembungkusmu sudah pudar warnanya.
Aku akan selalu ada di tempat ini, menerimamu kapan saja, dengan kamu yang apa adanya.
Labels: ???, Short Story, Whatever