Descending +
Seperti sore-sore kemarin, Hujan datang tidak sendirian. Bersama kedua temannya, Angin dan Petir, mereka bertiga mendatangi tempatku bersemayam. Sepertinya kali ini mereka sedikit kecewa terhadapku.

Kupandangi kucing berbulu hitam yang sedang duduk di dekatku, memperhatikan jari-jariku yang seda menari di atas keyboard laptop reyotku ini. Kaki depannya mencakar-cakar ujung celanaku, ekor panjangnya masih tetap berayun-ayun ke kanan dan kiri. Kedua matanya yang juga hitam kini memandangku balik, seolah menanyakan keadaanku saat ini. Kuelus kepalanya dengan sayang. Lalu ia berhenti mencakar.

Siang tadi, ada berita hebat. Satu dari orang yang kusayangi membuat akun social media. Bukannya terharu, terkejut atau apa. Tentu saja aku senang, tetapi rasa senang ini membuatku merasa menjadi seperti seorang yang munafik. Kini aku masih menunggu tiga orang yang kusayangi lainnya membuat akun itu juga.

Ketika aku berjalan di tengah-tengah panas terik siang tadi, aku merasa terasingkan. Kejadian sesaat setelah pulang sekolah itu membuatku terabaikan, terasingkan. Aku masih ingat bagaimana perasaanku tadi ketika memandang layar ponselku, ketika memandang punggungnya pergi, atau ketika melihat mereka kembali. Lalu aku ini apa?

Jam terus berputar. Jarum detiknya terus berputar dengan tempo dan irama yang sama. Aku berbalik. Hampir seluruh anak di kelas ini sudah selesai dan kini berusaha membunuh waktu dengan berbagai macam kegiatan yang bisa mereka lakukan di ruang kelas ini. Aku berbalik ke depan lagi. Mengecek jawaban di lembar jawabanku, aku yakin sembilan puluh persen benar. Kuperhatikan pengawas di depan, entah beliau niat menjaga atau tidak karena asyik sendiri dengan laptop putihnya yang dihiasi stiker-stiker murahan. Kukeluarkan headsetku dari laci meja, menyambungkannya dengan ponsel hinaku, dan memutar kira-kira selusin lagu yang ada di satu playlist. Sedikit terbersit di pikiranku, lagu-lagu ini membuatku merasa menjadi seorang yang munafik...

Aku sedikit khawatir dengan masa depanku. Tidak adakah sekolah yang mengkususkan diri di satu jenis pelajaran saja? Maksudku, sekolah seperti sekolah seni dengan mata pelajaran menari, menyanyi, berteater, melukis, atau membuat puisi. Yah, anggap saja seperti sebuah universitas seni. Jika aku bertanya, jawabannya adalah: ada. Ada, di kota-kota besar yang jauh dari jangkauanku. Ada, di negara-negara besar yang jauh dari jangkauanku. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku ada di kelas menari... Atau aku adalah salah satu anggota dari kelas teater... Sepertinya keren. Dan aku tidak perlu berusaha terlalu keras seperti aku mengerjakan soal-soal Matematika atau Fisika. Memikirkannya kembali semakin membuatku ingin berada di sekolah seperti itu...

Mengerjapkan mata di dalam kegelapan, aku tertarik dengan teori bahwa 'Jika Ahn Daniel bangun tidur, bibirnya akan sedikit membengkak' karena aku sendiri merasa seperti itu. Atau mungkin hanya karena perasaan aneh di mulut karena bangun tidur? Entahlah.

Aku harus tidur. Besok adalah hari terakhir Ujian Sekolah, dan aku harus tidur. Belajar ini sedikit membantu. Entah terbukti ke-efektivitasannya jika aku belajar dengan melafalkan lagu-lagu ini dengan lancarnya. Lagu-lagu ini... yang membuatku merasa menjadi seorang yang munafik.





Sebenarnya apa yang salah dengan perubahan? Apa yang salah dengan itu? Tidak ada. Namun aku terlalu takut untuk mengakui bahwa aku suka. Aku memiliki ego yang terlalu tinggi untuk mengatakan bahwa aku suka. Apakah itu salah?
Lagipula, bukan hanya itu yang membuatku enggan untuk mengakui. Sikapnya yang seolah mengatakan 'Nah, kan apa kubilang?' itu membuatku sebal. Sikapnya yang meremehkan semua orang yang tidak tahu itu membuatku kesal. Namun aku tidak memungkiri. Aku sudah jatuh terlalu dalam. Aku sudah mengetahui hampir setengah dari informasi-informasi yang ada. Aku sudah 'tahu'.
Namun egoku terlalu tinggi...




Masalah ini. Apakah Melodi mengatakannya padamu? Walau tidak dengan melodi yang harmonis atau dengan nada-nada tinggi yang indah, aku yakin dia mengatakannya. Well, aku berada di tengah-tegah mereka. Aku mengetahui kedua versinya, aku mengetahui masalahnya dari dua sudut pandang yang berbeda. Dan aku lelah. Aku lelah dengan ke-awkward-an atmosfirnya ketika mereka bertemu siang tadi, aku lelah dengan aku berada di tengah-tengah. Sebenarnya mereka berdua yang salah. Mereka sama-sama memiliki harga diri yang tinggi, tidak mau mengakui kesalahan. Sebenarnya di satu pihak, dengan membuat mereka begini itu benar. Pihak lain itu perlu disadarkan. Akupun beranggapan seperti itu....







Lupakan.
+ posted on 20130330 at 23:41