SAJAK NOPEMBER
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
 
    Siapa yang akan berbicara untuk kami
    siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
    bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
    yang berjejal
    bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
 
    tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
    dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
    siapa yang akan berbicara atas nama kami
    yang berjejal dalam kubur
 
    bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
    bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
    tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
    siapa yang bisa paham makna kehendak kami
 
    kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
    ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
    tanpa dicatat namanya
    kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
    ialah Tanah Air
 
    kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
    yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
    untuk pergi lebih dahulu
    apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
    apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
    mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
    tanpa mengeluh serta putus asa
 
    di Solo dua orang dalam satu kuburan
    di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
    di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
    dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
    tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
    di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
    bertimbun dalam satu lobang
    dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
 
    tambur yang paling besar telah ditabuh
    dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
    terompet yang paling lantang ditiup
    dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
    kami pun bangkit dari kubur
    memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
    kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
    diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
 
    kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati
    kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
    dan hari depan, sudah itu : mati
 
    orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
    tanpa tahu siapa kami ini
    tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
    tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
    tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
    dan sudah itu : mati
 
    siapa berkata bahwa kami telah musnah
    siapa berkata
 
    kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
    kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
    di ladang dan di laut, meskipun kalian
    tiada menyadari kehadiran kami
 
    siapa berkata bahwa kami telah musnah
    siapa berkata
 
    tanah air adalah sebuah landasan
    dan kami tak lain baja yang membara hancur
    oleh pukulan
    ialah kemerdekaan
 
    kemarin giliran kami
    tapi besok mesti tiba giliranmu
    kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
    terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
    hidup dan mengerti makna kemerdekaan
 
    dan kami adalah baja yang membara di atas landasan
    dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
    (mungkin besok tiba giliranmu)
 
    siapa yang tahu cinta saudara, paman  dan bapa
    siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
    ingat untuk apa kamu pergi
    siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
    siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
    ingat kenapa kami tak kembali
 
    begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
    apa saja untuknya
    jawablah : ya
    begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
    jawab lagi : ya
 
    sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
    datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
    sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
    bahasa dan kehendak kami
    sudah kau dengarkah  suara napas kami
    menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
    sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
    selalu dan selalu berkelahi lagi
 
    mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
    mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
    tapi toh tak ada bedanya:
    kami telah memulainya
    dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
 
    dan memang tak ada bedanya :
    kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
    bagimu adalah awal pertaruhan
    awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
    meski kami pernah kau kenal atau tidak
    meski kami pernah kau jumpa atau tidak
 
    kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
    yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
    kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
    lantaran satu harapan yang pasti
    walau tak pernah kembali
     
 
    kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
    kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
    tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
    agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
    mengeluarkan ampun
    kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
    tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
    agar tak lagi mengembara arwah kami
 
    kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
    kami telah mati
    lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
    hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
    kami telah berkelahi; dan mati
    tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
    dan mengatakannya kepada siapa pun
    tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
    yang telah mati pagi sekali
    dan berjalan tanpa nama dan tanda
    dalam satu lobang kubur
    kami telah lahir dan selalu lahir
    selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
    selalu dan selalu berkelahi
    di mana dan kapan saja
 
    biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
    yang menyanyikan lagu puja hari ini
    biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
    dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
 
    Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
    atas rasa bangga kami yang sederhana
 
    biarkanlah kami bicara hari ini
    lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
    lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
 
                         
                        Gelora
                        Th III, No 19
                        ( Nopember 1962)
                Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Labels: Nice, poem, Puisi, Sajak