Untitle Story from Kisaki Ai +
Hello Sadness . . . . . And I need you . . .
I'll walk alone with you in silence . . . .
^_^

Minggu pagi yang nggak cerah . . . .
Sudah lama banget saya nggak post - post ya??
Sekarang saya mau post draft cerita saya yang amat sangat aneh.
Nggak ada judulnya, tolong comment judul kalau ada yang bagus!

Naaah. . . . . Tolong di-comment . . . . . . . .

Hentikan. Mimpi – mimpi ini rasanya sakit, aku tak suka. Kumohon, hentikan sekarang juga. Jangan menatapku seperti itu, kau malah membuatku semakin kesakitan. Profesor! Jangan pergi! Jangan! Jangan tinggalkan aku! Aku sendirian di sini, semuanya sudah nggak ada, aku jadi sendiri, tolong....
Ai mendadak terbangun dari tidurnya. Dia terengah – engah, seolah habis berlari. Lei di ujung tempat tidurnya sendiri menatapnya dengan mata sayu karena terbangun dengan tiba – tiba.
“Ai, ada apa?”
Ai tidak menjawab. Dia hanya duduk di tempat tidurnya dengan mata membelalak pada pintu yang menuju ruang duduk. Lei masih memandangnya sebentar, lalu ia tidur lagi. Dengkurannya terdengar hingga ke sudut ruangan. Tampaknya tak ada lagi yang terbangun selain Lei. Ai turun dari tempat tidurnya, berjalan menuju meja kecil di dekat pintu dan mengambil gelasnya. Dia mengisinya dengan semacam cairan bening, dan meneguknya sampai habis. Alih – alih menaruh kembali gelasnya ke meja, dia malah memecahkan gelasnya dengan suara keras. Kali ini banyak anak yang bangun.
“Ai? Ai, ya?” kata Maria di balik selimutnya.
“Minum itu lagi? Berapa banyak gelas yang sudah kau pecahkan, Ai?” gumam Seiyu di samping tempat tidurnya.
“Ai....... Ai........ Ai......” Seiren mengucapkan namanya hingga tertidur lagi. Ai tidak mempedulikan semua keributan yang ia sebabkan. Dia malah menarik paksa sebuah buku harian kusut dari bawah tempat tidurnya, melihat jam dinding sekilas –sudah jam tiga pagi– dan mulai menulis.
2010-09-25, Malam ini aku bermimpi aneh lagi. Tampaknya tidak bersambung seperti kemarin. Aku ada di sebuah lapangan luas, seluas tiga lapangan sepak bola, hanya bersama Profesor Shiroi yang kusayangi itu. Kami ada di sudut yang paling kiri. Tiba – tiba dia tersenyum, dan berbalik, lalu dia berjalan menjauhiku sampai hilang dari pandangan. Kemudian aku bangun, dan meminum cairan bening seperti biasa.
Setelah selesai menulis, Ai melempar asal buku hariannya ke bawah tempat tidur, dan mulai tidur lagi tanpa mimpi.

________________________________________

Hari ini, hujan mengguyur atap kastil dan semua pelajaran diliburkan. Profesor Ookami menatap tajam kepada serombongan anak kelas tiga yang menari – nari kegirangan karena mempunyai waktu untuk meneruskan merajut sweater untuk pacarnya masing – masing. Dia meneruskan berjalan dengan terburu – buru, meninggalkan anak – anak yang kegirangan itu. Dia membelok di suatu sudut setelah memastikan semua anak yang ada di koridor terlalu senang, dan masuk ke ruangan kepala sekolah yang kosong. Profesor itu tersenyum senang lalu berlari ke sebuah cekungan dalam di belakang ruangan.
“Arazuko Ookami”
Cekungan itu tiba – tiba membuka, menampakkan sebuah ruangan luas di balik temboknya. Ada Profesor Keizu duduk menghadap perapian bersama Kisaki Ai. Ai berbalik, memandang profesor Ookami yang baru saja datang. Profesor Ookami menatap mereka kaget. Dia tersenyum. Seyumnya mengerikan, sehingga profesor Ookami berjengit.
“Selamat pagi, profesor Ookami.” Kata Ai dengan suara parau.
“Eh, selamat pagi, Kisaki, sedang apa?” profesor Ookami tampaknya kaget disapa dengan cara agak mengerikan begitu. Baginya, itu adalah suatu pertanda yang buruk.
“Menemani profesor Keizu melewatkan paginya yang muram, sir” Ai bangkit, dan menuju pintu.
“Maaf, saya telah mengganggu kalian untuk berbicara. Meskipun tak akan mungkin lagi. Silahkan, saya permisi dulu.” Ai mengangguk dan tersenyum lagi, lalu pergi keluar. Profesor Sinclaire mendengus, “Apa maksud perkataannya tadi?” dan berkata pada kepala sekolah.
“Profesor, anda kok mau, sih? Anak itu rasanya kurang menyenangkan untuk diajak mengobrol? Dan kenapa tak akan bisa? Profesor? Profesor?”
Dia menghampiri kursi yang biasa diduduki kepala sekolah, dan menjerit keras. Ai yang masih ada di balik pintu mendengarnya, dan berjalan keluar dengan perasaan pedih bercampur marah. Dia mengabaikan sapaan – sapaan riang dari semua anak di jalan menuju perpustakaan. Di sana sepi, cuma ada Madam Pelire yang mengomel tentang pengembalian buku yang selalu terlambat. Ai mengambil sebuah buku tebal berdebu dan mulai membacanya di sudut perpustakaan yang terang benderang.

“Hai, Ai! Kamu nggak berpesta?” tanya Seiyu yang memegang sebotol Creameva yang dingin dan berbusa di ujungnya. Creameva adalah semacam minuman bersoda yang banyak digemari.
“Nggak. Berpesta buat apa sih? Kita ‘kan nggak sedang merayakan kemenangan tim XXX kita, dan belum selesai ujian?” XXX yang dikatakannya itu semacam olahraga menggunakan sepatu roda dan memakai kemampuan membekukan.
“Merayakan keliburan kita hari ini! Katanya, kita akan libur sampai nanti malam lho, Ai. Jadi Astronomi dan Ramuan nggak ada! Horee...... “
Seiyu menari – nari keluar dari perpustakaan. Ai hanya bisa memandangnya dengan sinis. Dia memang tipe anak yang susah sekali untuk bersenang – senang. Ai melanjutkan membaca buku tebalnya. Madam Pelire tampak sedikit heran melihat ada anak yang mau membaca buku tebal dan kumal di bagian belakang perpustakaan. Daftar pengunjung untuk perpustakaan belakang terpenuhi dengan satu nama yang mengunjungi bagian itu setiap harinya : Kisaki Ai.
“Eh, namamu, Kisaki? Nona Kisaki?” Madam Pelire duduk di depan Ai yang sedang membaca.
“Iya. Ada perlu apa?”
Suara anak itu semerdu desiran angin dan melengking aneh.
“Eh, nggak. Aku hanya ingin tanya, kenapa kamu senang sekali pergi ke perpustakaan belakang. Padahal anak – anak pintar seperti Kakeru dan Nita tidak pernah ke bagian belakang. Kamu aneh rupanya.” Madam Pelire mengatakannya dengan senyum yang tidak disukai Ai.
“Karena mereka nggak tahu kesenangan yang tersimpan di bagian belakang, karena mereka terlalu idiot. Aku pinjam ini. Ramuan – ramuan yang digunakan Lord Kasuga dalam petualangannya. Selamat tinggal.”
Ai meninggalkan madam Pelire yang melongo sendirian di perpustakaan. Dia membawa buku kumalnya dan menebarkan debu ke setiap lantai yang dia lalui. Dia berjalan, dan berjalan kemanapun kakinya membawanya dan sampai di ruangan luas gelap gulita di menara timur.
Ruangan itu hasil ciptaan Ai sendiri, dengan memanfaatkan pengetahuan yang ia punya. Ruangan itu sangat lengkap. Ada buku bertumpuk – tumpuk, porselen, peralatan ramuan, dan masih banyak lagi. Ai berjalan ke tengah ruangan, dan menyalakan lilin – lilin yang sudah pendek sekali dalam sekali kibasan tangan.
“Aku tahu. Satu – satunya vampir yang dapat menemukanku adalah kamu, Seiren”
Ai bergerak cepat ke arah kotak buku paling besar, dan tiba – tiba ada sederet gigi putih bersih yang tersenyum.
“Wah, Ai hebat. Kau bisa menemukanku dengan tepat.” Kata Seiren dengan senang. Lalu dia tersenyum simpul, “Dan apakah hanya aku yang berada di ruangan ini?” dan dia tertawa. “Dan, Seiyu?” Ai menatapnya geram dan mendobrak lemari kayu yang ada di seberang ruangan.
“Hai, Ai! Pintar juga kau rupanya. Benar – benar murid kelas level ‘A’. Padahal aku pakai jaket pengaman.” Seiyu bangkit keluar.
“Aku dapat mencium baumu. Tetap saja, meskipun pakai jaket pengaman paling rapat sekalipun.” Ai tersenyum.
“Aku juga level ‘A’, tapi kita nggak pernah diajari pelajaran seperti itu deh. Kakeru saja lolos dari penjaga pintu Megladeville.” Kata Seiren merapikan rambutnya yang hitam itu.
“Tetap saja aku akan tahu. Karena aku tahu rahasia kepala sekolah yang juga bisa kemampuan sepertiku. Kalian ingat kejadian Soseki Natsume yang ketahuan mencium Shizukata di kamar mandi guru? Waktu itu tepat sebelum kepala sekolah masuk ingin mencuci tangannya. Sudahlah, kalian menyingkirlah!”
“Nggak. Kamu mau mencoba membuat pengganti darah ‘kan? Aku ikutan dong.”
Seiyu duduk di kursi yang ada.
“Wah, bagus itu. Aku juga sama seperti Seiyu.” Kata Seiren.
Ai memandang marah mereka berdua dan ...-

________________________________________

“Siapa?”
“Ai, Kisaki Ai. Anak kelas level ‘A’.”
“Wah, masa’? Level ‘A’? Masih level ‘A?’ ”
“Kabarnya dibawa ke rumah sakit sekolah!”
“Aduh. Madam Emma? Kasihan.”
Keesokan paginya, seluruh sekolah berkasak – kusuk tentang terserangnya Seiyu dan Seiren Isshiki, karena anak kelas level ‘A’. Tetapi entah mengapa seseorang tahu kalau yang menyerang bukan level H, tapi level A. Di tengah – tengah keributan sekolah pagi itu, Kisaki berjalan menaiki tangga menuju menara timur. Dia melihat sisa – sisa darah berceceran di lantai ruangan tersembunyinya. Dengan cepat dia berlari ke kamarnya dan membuka dengan kasar buku harian kumalnya.
Sialan. Kenapa aku main serang dengan mereka berdua? ‘kan aku sudah tahu watak mereka? Akibatnya seluruh sekolah membicarakannya pagi ini. Darah masih banyak, aku tak berani menyerahkan jubahku ke madam Liona untuk dicuci. Sebaiknya kucuci sendiri atau kubekukan saja.
Lembaran yang ia buka terkena tetesan darah jubahnya yang dilemparkannya dengan paksa semalam. Bukunya yang sudah kumal jadi tambah kotor dengan noda merah itu. Dia mulai membekukan jubahnya yang kotor dan menyihirnya dengan mantra anti-cair. Ada orang.
“Ai? Dipanggil kepala sekolah.”
Rupanya Maria. Matanya menatap bekas air di karpet dan tangan Ai yang beruap. Dengan cepat dia menyembunyikan buku hariannya dan tangannya.
“Nggak mungkin. Kepala sekolah sudah mati!”
“Kepala sekolah? Mati? Dari mana kau tahu?”
“Karena Profesor Ookami membunuhnya kemarin pagi. Aku punya bukti.”
Mallory menarik sebuah foto kumal dari saku dalam jubahnya yang bersih. Foto yang menggambarkan profesor Ookami sedang mencampurkan Raseption ke dalam cangkir teh kepala sekolah.
“Kau . . . ! Kau . . . !”
Maria lari, meninggalkan Ai yang tersenyum senang.

“Kisaki Ai?”
“ya.”
“Apa kau memperhatikanku pagi ini? Rupanya perhatianmu sedang tersita oleh sesuatu yang lain selain saya.”
Profesor Agasa Mirai, guru favorit Ai atau guru mantra-dan-insting, sedang menatapnya dengan kesal dari sudut matanya. Hari ini kelas level A sedang mempelajari perhubungan antara insting, dan Ai sudah sangat paham dengan hal itu, sehingga tidak memperhatikan penjelasan.
“Oh, maaf Profesor. Saya mendengarkan anda sedari tadi.”
“Masa’? Jelaskan mengapa manusia tidak bisa menyadari adanya aura berbahaya kaum kita? Mengapa hanya yang berdarah murni yang bisa disadari oleh mereka?”
Ai hanya tersenyum.
“Karena vampir berdarah murni mempunyai suatu ciri khas yang amat sangat berbeda dengan vampir biasa. Aura aneh yang akan dirasakan manusia memancar lebih kuat dari vampir berdarah murni, karena vampir biasa tidak memiliki suatu ciri khas. Dan setiap vampir berdarah murni tidak akan memiliki ciri yang sama.”
“Wah, persis seperti di buku!”
“Semua buku dilahapnya!”
“Dia lihat buku, ya?”
“Hebat!”
Profesor Mirai hanya diam mendengar bisikan ribut anak – anak sekelas. Dia tampak sedikit kecewa. Ai tahu, dia tidak mengharapkan dirinya menjawab dengan benar. Tapi profesor Mirai tahu Ai akan menjawab dengan benar, karena setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya akan selalu dijawab dengan benar.
“Baiklah. Sebentar lagi pelajaran akan usai dan ada tugas untuk kalian. Pelajari halaman empat puluh tujuh, Mempelajari Insting Vampir Berdarah Murni, dan buat ringkasan tentang itu sepanjang tiga puluh senti! Nah, selamat tinggal.”
Bel berbunyi sekali.
Dan berbunyi sekali lagi.
Anak – anak yang berebutan keluar mendadak berhenti di depan pintu dan kembali lagi ke bangku masing – masing. Ketua umum kelas A, Shitayuri Akasai, masuk dan dengan lambaian tangannya dia membuat secangkir teh untuk dirinya sendiri.
“Teman – teman, ada berita buruk hari ini,” dia menyeruput teh panasnya sedikit. “Berita buruknya adalah . . –“
“Kepala sekolah kita mati.”
Perkataannya dipotong oleh suara halus bangku paling belakang.
“Ah, Kisaki Ai? Bagaimana bisa tahu?”
Ai hanya tersenyum.
“Baiklah, kau benar. Kepala sekolah kita, Keizu Nami, mati kemarin pagi.”

“Dalam memperingati kematian kepala sekolah kita, mari kita . . . “
Profesor Ookami sedang memberikan pidato perpisahan kepada profesor Keizu. Wajahnya tak tampak sedih, malah menunjukkan kesedihan yang dibuat – buat. Ai memandangnya dengan sengit.
“Semoga, dengan tenang...” profesor Ookami mengangkat tangannya dan membuat asap hitam. Semua anak level L mengikutinya. Ai juga. Tapi dia membuat asap hitam dengan warna abu – abu di ujungnya. Dan asap yang dibuatnya bertahan lebih lama dari asap level L. Semua guru yang ada di bangku paling belakang juga mengikuti dan membuat asap yang sama dengan Ai.
Dalam perjalanan kembali ke kamar, Ai dicegat profesor Yuko Shiroi dan menariknya ke kantornya. Disana Ai lagsung duduk di kursi depan meja dan menatap profesor Shiroi lekat – lekat.
“Sudah tahu pembunuh Keizu?”
Profesor Shiroi terkejut dan tersenyum senang. Dia membuat teh untuk mereka berdua.
“Aku tahu kau pasti tahu. Profesor Ookami, ‘kan?”
“Benar. Kalau mau bukti, aku punya. Ini.”
Ai menyerahkan foto bukti.
“Pintar. Serahkan ini ke Megladeville dan wakil kepala sekolah kita akan dibawa ke sana. Benar – benar anak pintar. Kenapa kamu tidak naik ke level L saja?”
Ai hanya tersenyum simpul dan meminta diri untuk naik ke kamarnya.

Dan seminggu kemudian sudah ada kepala sekolah dan wakilnya yang baru.



Coming Soon - Part 2!
+ posted on 20101121 at 10:00